Selasa, 28 Desember 2010

Sebuah Cerpen


SEBERKAS CAHAYA CENDRAWASIH

      Sinar mentari senja yang nampak keemasan itu cukup menyilaukan dipantulkan tebing berbatu yang terlihat terjal. Sesekali bebatuan kecil jatuh perlahan lalu makin cepat menuruni lereng batu tersebut. Awalnya lereng tersebut tidak berbatu, bentuknya sama seperti lereng gunung biasa yang biasa ditumbuhi oleh rerumputan halus. Namun, setelah gunung tersebut digeruk dari bawah untuk diambil batunya, kondisinya menjadi seperti sekarang ini berbatu dan terjal. Tak jauh dari kaki gunung tersebut berdiri sebuah sekolah yang bisa dikenal dengan nama SMK 1 Sentani. Seorang anak nampak mondar-mandir di depan pintu gerbang sekolah, rupanya ia sedang menunggu temannya. Dari dalam sekolah seorang siswa berlari kecil menuju gerbang dengan sedikit terengah-engah.
      “Wah man, tepat sepuluh detik ke depan aku hampir pulang duluan.”
      Sorry man, aku tadi habis beres-beres dulu di ruang gambar. Teman-teman pada pulang duluan sebelum merapikan ruang kelas terlebih dahulu.”
      “Ya sudah, yuk kita pulang....!”
      Kedua pemuda ini ke luar gerbang agak sedikit terburu-buru. Mereka takut bakal tidak ada taksi (sebutan angkot orang sana). Biasanya pada jam-jam begini taksi jarang lewat di depan sekolah mereka sehingga mereka harus berjalan dulu sekitar seratus meter baru mereka menemukan taksi. Maklum, sekolah mereka letaknya jauh dari keramaian sehingga tak jarang sopir taksi enggan menyetir mobilnya hingga ke sekolah. Lain halnya dengan ketika mereka berangkat di pagi hari, supir-supir taksi tersebut justru banyak yang mau mengantarkan mereka hingga ke depan sekolah.
       “Rul, hari Minggu nanti kamu ikut kan, mentoring bareng ustad Ichsan?”
       “InsyaAllah akan kuusahakan, soalnya aku biasanya di suruh ibuku menjaga warung sih...”
       “Waduh Rul kamu harus bisa datang nemenin aku, soalnya Minggu lalu yang datang cuma aku doang”
       “Oke deh kalau begitu. Doakan doong agar ibu tidak menyuruhku menjaga warung. Tuh, ada taksi kita pulang yuk...!
@@@

       Sebuah pesawat komersil mengudara di atas bumi Cendrawasih yang sebagian besar permukaannya ditutupi oleh hutan tropis yang lebat. Di dalamya tampak seorang pemuda yang sedang asyik menikmati pemandangan yang indah nan alami. Raut mukanya tergambar seberkas kerinduan akan kampung halamannya itu. Ia tak merasa bahwa sebutir air mata tlah jatuh mmbasahi kemeja hijau lumutnya.
       “Alhamdulillah akhirnya bisa balik lagi nengok ayah, ibu, dan adik-adikku. Aku kangen banget sama mereka. Mudah-mudahan mereka selalu diberikan kemudahan oleh Allah...,” lirih pemuda itu sambil matanya tak lepas mengamati sejengkal demi sejengkal tanah kelahirannya itu.
       Beberapa saat kemudian dari pengeras suara yang berada tepat di atas kepala penumpang terdengar suara pramugari yang mengumumkan bahwa beberapa saat lagi akan mendarat di bandara Sentani.
       Setelah sukses landing dengan sempurna para penumpang dipersilakan ke luar pesawat dengan menggunakan tangga yang telah dipersiapkan sebelumnya. Seketika wangi udara yang khas terasa di seluruh saraf penciumanku, wangi yang memberikan kesan tersendiri bagiku. Inilah tanah tempat kelahiranku. Papua.
Setelah mengambil barang aku langsung disambut oleh keluarga di depan pintu kedatangan. Aku bahagia sekali saat itu, kupeluk ibuku lalu ayahku setelah itu langsung kupeluk adik-adikku. Setalah puas melepas kerinduan yang tersimpan. Kami langsung menuju rumah kami yang letaknya tidak terlalu jauh dari bandara dengan menggunakan taksi yang dibawa ayahku.
Ayahku adalah seorang supir taksi di sini. Walaupun hanya sebagai supir taksi, ayahku adalah seorang yang selalu mementingkan pendidikan sehingga masih bisa menyekolahkan adik-adikku hingga ke jenjang sekolah menengah. Syukur alhamdulillah aku sekolah di Jawa dengan beasiswa sehingga bisa sedikit mengurangi beban yang ditanggungnya.
       Taksi itu keluar bandara dengan perlahan-lahan di antara banyak taksi yang berlalu lalang. Tak lama setelah itu, kami pun sudah masuk ke jalan utama dan melesat ke timur dengan melewati beberapa kawasan pertokoan. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di gang masuk rumah kami. Aku pun turun sambil membawa barang-barangku dibantu dengan adik-adik.
@@@
       “Di, besok kan hari Minggu, bagaiimana kalau kita ke sekolahmu sekalian melihat pemandangan Danau Sentani dari gunung yang ada di sekolahmu itu”
       “Boleh, kebetulan aku juga mau main bulu tangkis di aula sekolah bareng teman-teman, sudah lama nih tidak main bulu tangkis”
           Besoknya seperti yang sudah direncanakan kami pun berniat berangkat jam 6 pagi dengan mengendarai sepeda motor butut miliki ayahku. Jalanan masih sepi hanya terlihat beberapa orang saja yang membawa bakul yang berisi sayur mayur. Mereka harus berangkat pagi-pagi ke pasar untuk menjual dagangan mereka kalau tidak mau rugi karena kesiangan Udara masih meninggalkan jejak dinginnya malam, namun terasa segar ketika udara pagi itu masuk ke rongga paru-paru. Udara yang alami tersebut membuat siapa saja betah dan ingin berlama-lama menghabiskan waktu dengan alam pagi itu. Sekolah adikku itu terletak di kaki gunung tersebut, yaitu SMK 1 Sentani, dari gunung itu kita dapat melihat indahnya Danau Sentani yang air memantulkan cahaya matahari pagi.
      “Eh gimana kalo sambil foto-foto buat kenang-kenangan” kataku memberi saran.
      “Boleh, nih pake handphoneku saja” kata Adi sambil menyerahkan handphone ke kakaknya.
      “Oh iya Kak, Kakak bisa foto-foto sendiri kan? Aku mau main dulu sudah ditunggu sama-temen.”
      “Oh oke bisa kok. Sudah sana, tuh temanmu memanggil-manggil.”
      “Terima kasih Kak, aku pergi dulu, hati-hati!”
      “Yo....!”
          Aku pun langsung berfoto-foto ria dengan alam yang indah itu. Pemandangan danau Sentani di pagi hari memang terlihat indah. Kabut tipis yang dihujani oleh sinar halus mentari pagi itu membuat aku takjub akan kemolekannya. Di tengah danau itu ada sebuah pulau kecil yang kulihat sayup ada sampan kecil sedang berlabuh di pulau tersebut. Sepertinya itu sampan nelayan yang biasa digunakan untuk menjaring ikan. Kalau tidak salah dalam danau itu banyak ikan air tawarnya, mulai dari gurame, mujair, mas, gabus dan ikan tawar lainnya. Tanpa sadar mulutku melafadzkan tasbih kepada Allah. Dzat yang menciptakan alam ini dengan sempurna.
Tanpa terasa matahari sudah mulai menampakkan wujudnya hampir sempurna. Kulirik jam ternyata sudah jam 07.00. Aku pun langsung bersiap-siap turun gunung dan menemui adikku di aula sekolahnya. Perjalanan menuruni gunung tersebut cukup melelahkan juga walaupun tidak selelah menaikinya tadi. Batu-batu gunung yang besar dan tajam, membuatku harus berkonsentrasi ketika menuruninya, belum lagi ditambah rumput-rumput gunung yang tajam dan terasa gatal di kulit. Rumput-rumput itu tingginya hampir setinggi dada. Tetapi itu hanya di bagian kaki gunung saja. Kata Adi biasanya kalau rumput di gunung tersebut sedang musimnya tebal, ular gunung banyak yang membuat sarang di tempat itu.
Sesampainya di bawah, aku bertemu dengan seorang bapak-bapak yang dari mukanya dapat kuterka umurnya sekitar 27 tahun. Bapak itu melihatku dan aku pun tersenyum.
       “Adi masih main bulu tangkis bareng teman-temannya di dalam tunggu saja sebentar lagi paling dia keluar. Kamu kakaknya Adi kan?”
       “Loh, Bapak kok bisa tahu?” tanyaku heran.
       “Si Adi sudah cerita sama saya kemarin lusa katanya kakanya yang dari Jawa akan datang.”
       “Ooh begitu..., Bapak, gurunya Adi, ya?” tanyaku lagi.
       “Ya, tepatnya guru mengajinya Adi. Nama saya Ichsan Hakim. Panggil saja Ichsan.”
       “Nama saya Muhammad Firdausi. ustaz bisa panggil saya Firdaus”
       “Waduh jangan panggil ustaz dong, ilmu saya masih sedikit, belum pantas dipanggil ustaz” kata ustaz Ichsan malu.
       “Nggak apa-apa kok, guru saya mangatakan bahwa semua orang yang lebih tua biasa dipanggil ustaz karena pengalaman mereka lebih banyak dan tentunya kita akan banyak belajar dari pengalaman mereka. Lagi pula, kata ustaz artinya kan guru, jadinya tidak masalah menyebut orang yang lebih tua dari kita dengan sebutan ustaz.” kataku mencoba menjelaskan “Oh iya, ustad biasanya mengadakan pengajian di mana?”
       “Biasanya di masjid Al-Aqsha, kamu pasti tahu, kan letaknya dekat dengan rumah kamu”
       “Tepatnya sangat tahu ustaz he...he....”
       “Oh iya ustaz, pengajian yang ustaz bina itu semacam program mentoring?”
       “Mmmhh... bisa dibilang seperti itu. Soalnya tidak hanya belajar mengaji saja, memperdalam ilmu agama juga saya ajarkan”
       “Wah, bagus banget tuh ustaz, saya awalnya tidak mengira kalau ada program mentoring juga di sini. Saya jadi berpikir kenapa yang ada program mentoring itu hanya untuk sekolah swasta berbasiskan Islam saja, mengapa program tersebut tidak diterapkan di sekolah negeri juga. Meski tidak harus di sekolah, mereka bisa melakukannya di luar jam sekolah disela-sela waktu senggang mereka. Tidak masalah walau hanya dilaksanakan seminggu sekali yang penting itu menjadi agenda rutin mereka.”
            “Wah, bagus juga pemikiran seperti itu jika berhasil diterapkan secara meluas di negara kita”
           “Yah begitulah ustaz. Dengan begitu para generasi muda dapat mengerti tentang Islam sampai ke akar-akarnya, tidak hanya titel Islam saja yang tertempel di KTP mereka”
           “Iya nanti yang masuk surga KTP-nya saja orangnya tidak”
           “Ha...ha..ha...” sontak kami tertawa bersamaan
       “Yah begitulah Fir, saya awalnya juga berpikir seperti itu dan saya akhirnya berniat menjalankan program ini, namun sepertinya program tersebut tidak terlalu berjalan baik. Awalnya memang banyak yang mau ikut program mentoring ini, tetapi lama-kelamaan banyak juga dari mereka mulai tidak datang, dan pada akhirnya program ini berjalan hanya dengan beberapa anak saja dan itu pun bisa kita hitung dengan jari”
       “Saya sangat salut sekali dengan niat ustaz telah mengadakan program seperti ini, dengan begitu masih dari mereka yang terus memperdalam ilmu tentang agama Islam. Walaupun tidak berjalan dengan jumlah siswa yang banyak, itu sudah termasuk prestasi tersendiri daripada tidak ada sama sekali”
       “Ya saya juga merasa sedikit lega karena bisa menjalankan tugas yang diberikan Allah kepada saya yaitu untuk berdakwah. Saya merasa sangat berdosa jika tidak menjalankan perintahNya karena generasi mudalah yang akan menggantikan kita kelak ketika kita sudah mati. Oleh karena itu, kami wajib mendidik anak-anak didik kami agar bangsa ini tidak semakin buruk kondisinya”
            “Betul ustaz, Setiap orang memang harus berdakwah menyebarkan agama Islam ini di muka bumi. Itu sudah merupakan tugas kita sebagai khalifah di bumi.”
       Kami berbincang-bincang cukup lama. Saling bertukar pikiran sangatlah mengasyikkan, disamping kita bisa berbagi ilmu dan pengalaman, kita juga bisa menambah ilmu yang banyak dari lawan bicara kita. Kami saling bertukar pikiran satu sama lain, kadang aku menjelaskan pengalamanku serta ilmu yang kudapat di sekolah dulu kadang kalanya ustaz Ichsan yang menceritakan pengalamannya dalam membimbing dan mengajarkan anak-anak tentang agama Islam.
       Karena keasyikan ngobrol, kami sampai tidak menyadari kalau Adi dan teman-temannya sudah selesai bermain bulu tangkis. Matahari juga telah menguasai pagi itu dengan sempurna.
       “Assalamualaikum! Wah baru mau kukenalkan malah sudah kenal duluan. Sudah lama Kak ngobrolnya?”
       “Hehehe …. Ya sudah dari tadi, habis kenalan langsung ngobrol-ngobrol, kamu sudah selesai mainnya?”
       “Sudah, apa masih ingin ngobrol lagi ustaz, sama kak Firdaus?”
       “Oh kalau sudah mau pulang, ya sudah, tidak apa-apa, saya juga harus pulang sekarang. Soalnya ada teman yang ingin ngobrol bareng. Biasa teman lama”
       “Baiklah kalau begitu ustaz, kami mohon pamit dulu, assalamu'alaikum!”
       “Wa'alaikumsalam...”
       Dalam perjalanan pulang aku berbincang-bincang dengan Adi. Adi bercerita tentang permainannya tadi, ia bercerita bahwa Banu telah kalah telak dengannya dengan skor 21 dan 9, padahal menurut teman-temannya, Banu itu pemain yang hebat. Ia pernah mewakili sekolah kami di kejuaraan bulu tangkis tingkat provinsi memperebutkan Piala Gubernur. Ia bercerita dengan sekali nafas karena bangga bisa mengalahkan Banu tadi.
       “Di, ngomong-ngomong kelompok mentoringmu pernah diajak rihlah tidak?”
       “Rihlah? Emangnya rihlah itu seperti apa?”
       “Ya seperti mentoring di alam terbuka sambil jalan-jalan dan refreshing gitu.”
       “Belum tuh, memangnya ada program seperti itu dalam mentoring?”
       “Ada, biasanya dilakukan setiap bulan sekali. Ya sudah, nanti Kakak coba bicara sama ustaz Ichsan”

@@@

       Aku sangat bersemangat jika ada yang mengajakku bermain bola. Bermain bola merupakan hobiku yang nomor satu dari sederet hobi-hobiku yang lain. Sore itu selepas sholat ashar, Martinus tetangga sebelah rumahku mengajakku main bola di lapangan yang baru saja dibuat. Katanya hari ini ada pertandingan 'anak depan' lawan 'anak belakang'. Berhubung di rumah sore itu lagi tidak ada kegiatan, aku terima saja tawaran teman yang asli Irian itu.
       Aku dan Martinus masuk tim 'anak belakang'. Kami tidak tahu asal mula nama tim itu, nama itu seolah tercipta langsung karena kami sering bermain dengan anak-anak berbeda lokasi karena lokasi tempat tinggal kami berada di sebelah belakang maka kami biasa menyebut kami 'anak belakang'. Sedangkan lawan bebuyutan kami berasal dari anak-anak yang tinggal di lokasi depan alias 'anak depan'.
Pertandingan sore itu berlangsung sangat meriah, aku dan Martinus sebagai ujung tombak 'anak belakang'. Setelah pertempuran yang sangat sengit, akhirnya tim kami keluar sebagai pemenang dengan skor 5 – 1. Aku berhasil menciptakan tiga gol, sedangkan Martinus mencetak dua gol. Pertandingan sore itu sangatlah seru menurutku, aku tidak tahu apakah perasaan yang kurasa sama dengan Martinus maupun teman-teman yang lain. Kami pulang bersama ketika matahari sudah mulai menutup sebagian sinarnya. Sinar matahari sore itu berwarna jingga dan dihiasi oleh beberapa titik bintang yang sudah muncul karena tidak sabar menunggu malam. Guratan-guratan malam perlahan muncul laksana ada sebuah kuas milik sang Maha Karya yang menggoreskan tintanya pada langit sore itu. Dan lagi-lagi alam kampungku memperlihatkan keanggunannya.
@@@

      “Kak, tadi ustaz Ichsan memberitahu ke kami bahwa pekan depan kami akan rihlah ke sungai Swembak!” kata Adi antusias.
      “Oh begitu, berarti enak dong bisa berenang di sana!”
      “Yoi dong, kata ustaz, Kak Firdaus harus ikut ke sana bareng kami”
      “Okelah kalo begitu, kalo ditawarin begitu, ya mau gimana lagi.”
      Hari Minggu yang dinanti-natikan pun hadir juga. Pagi-pagi kami harus bersiap-siap untuk berangkat ke Swembak. Sebuah sungai mata air yang terletak di daerah Ifar Gunung. Daerah itu letaknya dekat jika berkendara menggunakan kendaraan, namun tetap saja karena letaknya masih alami banget, jadinya kami harus turun dari kendaraan lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 1 kilometer dengan rute berbatu dan melewati hutan di gung tersebut. Setelah kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami pun tiba di lokasi.
Sungai itu kata orang sana airnya berasal dari mata air puncak yang tak pernah kering meski kemarau yang ganas sekalipun. Perjalanan kami tidak sampai ke mata air sungai tersebut, karena kami harus menempuh rute sejauh sepuluh kilometer dengan jalan mendaki dan terjal. Suara gemericik air terdengar bersahut-sahutan memecah keheningan hutan yang rimbun di sekitarnya. Sesekali suara binatang hutan terdengar menyelinap di sela-sela gemuruh angin sepoi-sepoi yang berhembus membelah hutan tersebut. Sungai dengan air yang lumayan deras dan batu-batu yang tak besar itu tak menyurutkan semangat kami untuk merasakan kesejukan airnya. Bahkan kami seperti merasa bahwa kami semua di sambut baik oleh sungai tersebut begitupun alam yang rimbun di sekitarnya.
      “Kalian dengar anak-anak? Inilah suara kekuasaan Allah. Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Allah menciptakan alam yang luas ini hanya untuk makhluk-makhluk ciptaannya, betapa besar kasih sayang Allah kepada kita semua. Allah menciptakan ini semua agar manusia sebagai khalifah di bumi ini dapat makan, minum, dan hidup di bumi ini. Kita diperintahkan untuk memanfaatkan kekayaan alam ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sekali-kali merusak apa yang dititipkan Allah kepada kita ini. Dan melalui alam ini juga kita disadarkan untuk berpikir dan menyaksikan Mahakarya Allah ini agar kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya”
      “Allah swt. berfirman yang tercantum dalam Al-Qur'an surah Sad ayat 27 yang berbunyi, Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanyatanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”
      Kata-kata ustaz Ichsan itu mengalir lembut di hati murid-muridnya itu. Kata-kata bijak yang memberi seberkas cahaya di hati remaja-remaja muslimnya itu. Mereka merasa alam seperti tersenyum kepada mereka para generasi muda pilihan sehingga membuat mereka ingin membalasnya dengan senyuman terbaik yang mereka miliki. Subhanallah..... tidak ada kata-kata dari mulut mereka yang lepas dari kalimat itu. Mahasuci Allah. “Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmatNya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan itu berbagai macam-macam buah-buahan, seperti itulah Kami membangkitkan oran-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanamn-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda -tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur” (QS:Al-A'raf:57-58)

@@@

       Setelah puas bermain dan bersenang senang ria. Mereka segera berkemas-kemas untuk pulang karena waktu sudah menunjukkan tengah hari. Mereka sama sekali tak merasa kalau waktu sebenarnya terus berjalan. Mungkin karena para insan-insan pilihan ini telah menyatu sepenuhnya dengan alam. Hal itu hanya mereka dan Allahlah yang mengetahuinya. Perjalanan pulang mereka tetap melalui rute yang sama, namun kondisin jalan setapaknya sedikit berbeda, kondisinya becek karena habis gerimis kecil tadi, sehingga membuat rute tersebut licin. Mereka karus ekstra hati-hati melalui jalan tersebut. Akhirnya mereka tiba di tempat kendaraan mereka yang terpaksa ditinggal karena harus berjalan kaki tadi.
       Setelah bersih-bersih dan sholat dzuhur berjama'ah. ustaz Ichsan memberi sedikit kultum tentang perjalanan mereka hari ini. Ia berkata bahwa memperdalam ilmu agama itu sangatlah penting untuk kita di masa depan. Bisa jadi tantangan di masa depan jauh lebih berat dan berliku. Oleh karena itu, kita mau tidak mau harus siap untuk menghadapinya, tentunya dengan cara terbaik yang diridhoi oleh Allah swt. Ia lalu berkata bahwa jangan hanya waktu rihlah saja mereka bisa berkumpul semua seperti sekarang ini. Ia berharap agar murid-muridnya itu tetap semangat untuk hadir di majelis-majelis Allah seperti ini. Setelah kultum tersebut, kami semua berfoto bersama-untuk kenang-kenangan. Setelah itu kami semua kembali ke rumah masing-masing.
@@@

       Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Waktu senantiasa berbanding lurus dengan pengalaman. Semakin lama kita mengarungi waktu di dunia ini, maka pengalaman yang kita dapatkan pun semakin bertambah. Sudah kurang lebih satu bulan aku berada di tanah kelahiranku ini. Aku harus kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikanku. Aku tidak sedikitpun merasa menyesal, bahkan malah kebalikannya. Aku merasa bahagia meninggalkan kampung tercinta ini, karena masih ada seorang yang prihatin akan pendidikan Islam untuk para generasi mudanya. Dialah ustaz Ichsan. Aku sebenarnya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada beliau, tetapi ucapan seperti itu kurasa tidak sebanding dengan apa yang telah ia lakukan untuk generasi muda di kotanya. Perbuatan itu menurutku adalah perbuatan yang amat langka yang ada pada zaman sekarang hanya orang-orang yang hatinya mendapat hidayah saja yang bisa melakukan perbuatan mulia tersebut. Akhirnya aku hanya bisa mengirimkan sebuah sms yang berbunyi, “Assalamu'alaikum ustaz, insyaAllah besok saya akan kembali lagi ke Jawa. Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada ustaz karena kebaikan budi ustaz dalam mendidik calon-calon pemegang bangsa di masa depan. Tidak ada yang bisa saya berikan kepada ustaz selain doa. InsyaAllah saya akan senantiasa berdoa untuk ustaz agar ustaz selalu diberikan kesabaran oleh Allah untuk membimbing dan mendidik pemuda-pemuda impian bangsa. Jazakallahu khairan katsiiran
       Sms balasan dari ustaz Ichsan baru kulihat ketika aku duduk di ruang tunggu bandara Sentani. Smsnya berbunyi seperti ini, “Afwan ya akh, moga-moga Allah juga memudahkanmu dalam setiap urusan. ustaz juga sangat bangga karena di dunia ini ternyata masih ada juga anak muda yang begitu gigihnya memperjuangkan pendidikan seperti kamu. Jarang sekali loh ada anak muda seperti kamu yang menginginkan orang lain sukses lebih dahulu. Mudah-mudahan Allah membukakan pintu ilmu-Nya bagimu dengan selebar-lebarnya. Mudah-mudahan juga Allah ridho dengan segala perbuatanmu agar apa yang kau perjuangkan selama ini tak sia-sia di mata-Nya.” kata-kata ustaz Ichsan benar-benar membakar semangatku untuk terus-menerus dan tak bosan-bosannya meraih apa yang selama ini kuinginkan. Dengan singkat kubalas sms tersebut, afwan katsiiran ya ustaz.
       Satu pelajaran yang dapat kuambil dari perjuangan ustaz Ichsan tersebut adalah ketulusan yang timbul dari hati seorang guru yang berjuang dengan keikhlasan yang besar dari lubuk hati yang terdalam inilah yang akan membawa perubahan yang besar bagi bangsa. Yang jika saatnya tiba dari benih-benih yang ia tanam tersebut lama-kelamaan akan menjadi beratus-ratus bahkan bermilyar-milyar pohon yang memilki akar yang kuat menancap ke dalam tanah karena mempertahankan akhlak-akhlaknya, pohon-pohon yang memiliki batang yang kuat dan besar yang mampu menahan rintangan sebesar apapun, pohon-pohon yang memiliki daun-daun rimbun untuk melindungi banyak umat manusia dari panasnya mentari dan lebatnya hujan, serta pohon-pohon yang memilki buah-buah yang terasa nikmat yang memberikan manfaat yang banyak bagi peradaban umat manusia.

Selesai

Bogor, 2 Mei 2010
Asrama SMART Ekselensia Indonesia





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar